Suatu hari Sunan Kalijaga hendak mengambil kayu jati yang
akan dijadikannya saka guru Masjid Agung Demak. Namun, ajaibnya pohon jati yang
berada di lereng Bukit Gombel tersebut sudah tidak ada/ berpindah tempat,
hingga daerah tersebut dinamai “Jatingaleh”.Melihat pohon jati yang bisa
berpindah itu, Sunan Kalijaga lantas mencari kemana pohon itu pergi. Hingga
akhirnya menemukannya di tempat yang kini di namai Kawasan Goa Kreo. Pohon jati
yang akan dijadikan Saka Guru itu ternyata berada di tempat yang begitu sulit
untuk di ambil. Kemudian, beliau bersemedi di sebuah gua dan di datangi empat
ekor kera yang mempunyai bulu wana-warni, merah, putih, hitam dan kuning.
Empat kera itu
menyampaikan niatnya untuk membantu Sang Sunan untuk mengambilkan kayu jati
tersebut. Sunan Kalijaga pun menerima tawaran kera-kera itu untuk
mengambilkannya dan berhasil mengambil kayu jati itu. Saat Sunan Kalijaga
beserta sahabat-sahabatnya hendak mengambil kayu jati untuk di bawa ke Kerajaan
Demak, ke empat kera itu menyatakan keinginannya mengikuti Sang Sunan. Namun,
sang Sunan keberatan karena mereka bukan manusia. Tetapi, sebagai balas jasa
kepada kera-kera itu Sunan Kalijaga memberikan kawasan hutan di sekitar gua.
Mereka pun diberikan kewenangan “ngreho” (Bahasa Jawa) yang berarti
“Memelihara/menjaga”. Dari kata itulah, nama Gua Kreo berasal. Hingga sekarang,
masyarakat sekitar Gua Kreo masih berkeyakinan bahwa kera-kera di sekitar Gua
Kreo tersebut adalah keturunan dari empat kera warna masa Sunan Kalijaga.
Masyarakat sekitar masih menjunjung tinggi adat dan budaya yang masih lekat.
Kawasan Goa Kreo pun saat ini dijadikan tempat obyek wisata yang ramai
dikunjungi.