Sabtu, 27 Oktober 2018

Asal usul Goa Kreo dan Jatingaleh


Suatu hari Sunan Kalijaga hendak mengambil kayu jati yang akan dijadikannya saka guru Masjid Agung Demak. Namun, ajaibnya pohon jati yang berada di lereng Bukit Gombel tersebut sudah tidak ada/ berpindah tempat, hingga daerah tersebut dinamai “Jatingaleh”.Melihat pohon jati yang bisa berpindah itu, Sunan Kalijaga lantas mencari kemana pohon itu pergi. Hingga akhirnya menemukannya di tempat yang kini di namai Kawasan Goa Kreo. Pohon jati yang akan dijadikan Saka Guru itu ternyata berada di tempat yang begitu sulit untuk di ambil. Kemudian, beliau bersemedi di sebuah gua dan di datangi empat ekor kera yang mempunyai bulu wana-warni, merah, putih, hitam dan kuning.

Empat kera itu menyampaikan niatnya untuk membantu Sang Sunan untuk mengambilkan kayu jati tersebut. Sunan Kalijaga pun menerima tawaran kera-kera itu untuk mengambilkannya dan berhasil mengambil kayu jati itu. Saat Sunan Kalijaga beserta sahabat-sahabatnya hendak mengambil kayu jati untuk di bawa ke Kerajaan Demak, ke empat kera itu menyatakan keinginannya mengikuti Sang Sunan. Namun, sang Sunan keberatan karena mereka bukan manusia. Tetapi, sebagai balas jasa kepada kera-kera itu Sunan Kalijaga memberikan kawasan hutan di sekitar gua. Mereka pun diberikan kewenangan “ngreho” (Bahasa Jawa) yang berarti “Memelihara/menjaga”. Dari kata itulah, nama Gua Kreo berasal. Hingga sekarang, masyarakat sekitar Gua Kreo masih berkeyakinan bahwa kera-kera di sekitar Gua Kreo tersebut adalah keturunan dari empat kera warna masa Sunan Kalijaga. Masyarakat sekitar masih menjunjung tinggi adat dan budaya yang masih lekat. Kawasan Goa Kreo pun saat ini dijadikan tempat obyek wisata yang ramai dikunjungi.

Asal Usul Lemah Gempal

Pada zaman Belanda, Semarang sering dilanda banjir, lebih-lebih saat musim penghujan. Karena setiap musim hujan datang maka banjir akan datang. Pemerintah kolonial Belanda akhirnya pun memutuskan, untuk menanggulangi banjir dengan cara membangun kanal. Kanal adalah parit yang sangat besar yang berfungsi sebagai sungai. Sebagian aliran dari sungai induk akan dialirkan melalui sungai menjadi lebih kecil sehingga mengurangi kemungkinan terjadinya banjir. Lalu pemerintah membuat dua kanal di bagian barat dan timur Semarang. Sehingga kedua kanal tersebut dikenal dengan nama Banjir Kanal Barat dan Banjir Kanal Timur.
Konon, ketika membangun kanal di sebelah barat, para pekerja sempat dibuat bingung karena di kanal bagian barat tanah-tanah hasil galian selalu longsor sehingga mengakibatkan pembangunan Banjir Kanal Barat selalu gagal. Karena putus asa, maka para pekerja mengunjungi orang pintar untuk menanyakan apa yang harus dilakukan agar tanah tidak longsor lagi. Orang pintar itu biasa dipanggil oleh warga sekitar dengan sebutan Ki Sanak. Untuk mencegah tanah longsor kembali, Ki Sanah menyuruh pekerja untuk mengambil batu dari sebelah kanan dan kiri rumahnya. Lalu kuburlah kedua batu itu pada salah satu bagian tanggul yang sedang dikerjakan. Pesan sang kyai dilaksanakan betul oleh para pekerja. Pada saat itu terjadilah keajaiban. Reruntuhan bekas tanggul tersebut kembali menyatu dan bagian-bagian tanggul yang semula runtuh kembali lagi menjadi utuh. Konon mulai pada saat itu, daerah tersebut dikenal masyarakat dengan nama Lemah Gempal. (Lemah dalam bahasa Jawa berarti tanah dam gempal berarti longsor atau bongkah).

Asal Usul Kelurahan Cangkiran


Pada zaman dahulu ada seorang raja beserta para prajuritnya sedang singgah di suatu daerah, raja itu pun bertapa hingga beberapa hari. Lalu setelah selesai bertapa Raja mengatakan pada para prajuritnya, bahwa tempat ini bukanlah daerah biasa, ia mengatakan bahwa tempat ini “nyancang pikiran”, yang berarti bahwa tempat ini membuat orang yang singgah selalu mengingat daerah ini, akhirnya raja pun memutuskan untuk memberi nama daerah ini menjadi Desa Cangkiran. Lama kelamaan Desa Cangkiran pun banyak dikunjungi oleh orang-orang dari luar, tak sedikit pula yang memutuskan untuk menetap dan membangun gubuk disana.
Setelah raja meninggal, Desa Cangkiran pun di urus oleh seseorang yang bijaksana, ia bernama Mbah Badur. Konon, Mbah Badur lah yang mengembangkan desa Cangkiran hingga bisa seramai sekarang ini. Saat beliau meninggal ia juga di makamkan disitu, dan sampai sekarang makamnya ramai dikunjungi orang. Karena jasa-jasa nya terhadap desa Cangkiran namanya pun diabadikan menjadi sebuah nama jalan di desa tersebut, yakni Jl. Gang Badur.










Kisah Kambing Mbah Soleh Darat Memakan Harimau

Suatu hari KH Soleh Darat yang sudah kembali dari Mekah dan tinggal di Semarang kedatangan tamu seorang tokoh terkenal sakti asal Jawa Timur, tokoh itu biasa dipanggil dengan sebutan kiai. Kiai tersebut datang di malam hari di pondokan KH Soleh Darat. Karena Kiai Soleh sedang mengajar mengaji, seorang santri mempersilahkan tamu untuk menunggu di serambi langgar.
Tak lama kemudia, Kiai Soleh pun menemui tokoh tersebut, lalu Kiai Soleh bertanya naik apa sampai sini pada tamunya, tamu pun menjawab dengan nada pamer bahwa ia naik harimau, lalu Kiai Soleh menyarankan agar harimau milik tamu nya disimpan di dalam kandang kambing, si tamu pun dengan sombongnya berkata bahwa nanti harimaunya akan memakan kambing-kambing milik Kiai Soleh. Kiai Soleh pun hanya bisa tersenyum dan berkata bahwa kambingnya tidak akan mati.

Tamu itu pun menginap di pondokan, saat hendak tidur ia sudah membayangkan pasti banyak kambing-kambing Kiai Soleh yang mati dan bangkai nya berserakan. Keesokan harinya, ia segera menemui harimaunya di kandang kambing tersebut. Betapa terkejutnya tamu itu bukannya ia melihat bangkai kambing, justru ia melihat harimaunya yang telah menjadi bangkai, suasana kandang kambing pun riuh terdengar suara kambing yang bersahut-sahutan, dan tampak seekor kambing yang mulutnya tampak merah. Ia pun menduga bahwa kambing itulah yang memakan harimaunya. Betapa menyesalnya ia karena telah menyombongkan dirinya di depan Kiai Soleh Darat, ia pun segera meminta maaf kepada beliau.

Asal Usul Kalibanteng, Semarang

Pada zaman dahulu, ada seorang janda yang sakti, ia bernama Nyai Banteng Wareng. Ia tinggal di sebuah tepi sungai dekat Laut Jawa bersama satu orang anak laki-lakinya. Awalnya tanah di derah tersebut tidak dapat ditanami karena air nya mengandung garam, namun berkat kesaktiannya, tanah di sana menjadi subur dan hasil kebun Nyai Banteng selalu melimpah. Nyai Banteng sangat bahagia hidup bersama anak laki-lakinya. Sesekali, mereka main di pantai, bahkan lama kelamaan hampir setiap hari anak laki-lakinya berenang di pantai hingga matahari terbenam.
Suatu hari, anak laki-lakinya bercerita kepada Nyai Banteng, bahwa akhir-akhir ini ia diajak pergi oleh seorang kakek-kakek berjenggot putih panjang, Nyai Banteng pun khawatir akan keselamatan anaknya. Lalu suatu ketika ia pun bertapa hingga 7 hari, saat hari ke tujuh pun ia mendapatkan jawaban, terdengar suara seseorang yang mengatakan bahwa di sudut kiri gubuk nya terdapat jangkar bertali yang harus dipakaikan pada anak laki-lakinya ketika mandi di laut.
Nyai Ronggeng pun segera mengatakan pada anaknya bahwa bila ia besok mandi di laut harus menggunakan jangkar ini di bajunya agar terhindar dari marabahaya, namun anak nya justru enggan memakai jangkar itu dan mengabaikan nasehat Nyai Banteng, keesokan harinya anak laki-laki Nyai Banteng pergi mandi di laut tanpa memakai jangka itu. Saat sedang berenang di laut, tiba-tiba badai datang, angin bertiup sangat kencang, ombak pun menjulang tinggi, anak laki-laki Nyai Banteng pun langsung tergulung ombak, sambil berteriak minta maaf kepada Ibunya karena tidak menghiraukan nasehat Nyai Banteng. Nyai Banteng telat datang untuk menyelamatkan anaknya, ia pun hanya bisa menangis meratapi kepergian anaknya.
Lambat laun Nyai Banteng Wareng pun sakit-sakitan karen ia terlalu memendam kesedihan atas kepergian anaknya tersebut, akhirnya Nyai Banteng Wareng pun meninggal di gubug nya yang sederhana di tepi sungai dekat Laut Jawa. Konon tempat itulah yang sekarang dinamai dengan Kalibanteng, terletak di wilayah Semarang Barat, tepatnya saat ini sudah menjadi lapangan bandar udara Ahmad Yani.